Umumnya masyarakat sering terkecoh antara tanaman lamun dan rumput laut. Perlu diketahui bahwa lamun dan rumput laut merupakan dua jenis flora yang berbeda. Rumput laut (seaweed) adalah sejenis ganggang atau alga yang berukuran besar dan memiliki berbagai macam bentuk yang beranekaragam. Sedangkan lamun adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang sudah sepenuhnya menyesuaikan diri hidup terbenam di laut.
Istilah lamun yang padanan katanya “seagrass” dalam bahasa Inggris, pertama kali diperkenalkan oleh Hutomo kepada masyarakat ilmiah melalui disertasinya di IPB, Bogor. Uniknya, istilah lamun memiliki nama khas tersendiri di setiap daerah. Contohnya masyarakat lokal Kepulaun Seribu menyebut flora ini dengan istilah ‘samo-samo’, adapun istilah ‘lalamong’ di Maluku Tengah dan ‘setu’ di Pulau Bintan.
Lamun sendiri merupakan tempat hidup rumput laut, kerang-kerangan (moluska), bulu babi, beragam jenis teripang (ekinodermata), berbagai jenis ikan dan banyak biota lain. Hal ini menjadikan lamun tempat perlindungan dan tempat menempel (shelter) berbagai hewan dan tumbuh-tumbuhan.
Gambar kiri: Lamun (Enhalus acoroides). Foto: Yksmdvooo/flickr.com. Gambar kanan: Rumput laut Eucheuma cottoni. Foto: wikimedia.org (Greeners.co)
Menurut Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, padang lamun berfungsi sebagai tempat pemijahan (spawing ground) dan sekaligus menjadi tempat asuhan (nursery ground) serta tempat mencari makan (feeding ground) bagi biota-biota tersebut di atas, termasuk pula biota-biota yang dilindungi seperti dugong dan penyu hijau.
Sama seperti tumbuhan darat, lamun memiliki akar, batang, daun, bunga dan biji. Batangnya tumbuh mendatar dan terbenam di dasar laut yang disebut rimpang. Lamun memiliki adaptasi yang lebar untuk bisa hidup sepenuhnya terbenam di air laut, dibandingkan tumbuhan darat lainnya.
Secara ekonomis, tumbuhan lamun dianggap mempunyai nilai ekonomis yang tidak terlalu penting pada mulanya, namun belakangan telah ditemukan beberapa bahan aktif yang berasal dari daun lamun. Beberapa manfaat dari ekosistem lamun diantaranya yaitu tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan, dan tiram; tempat rekreasi atau pariwisata; sumber pupuk hijau; sumber bahan aktif obat-obatan dan kosmetik; dan sumber bahan pangan.
Walaupun ekosistem lamun telah terbukti memberikan kontribusi yang sangat penting dan berharga bagi masyarakat pesisir, namun berbagai tekanan dan ancaman yang menurunkan kualitas wilayah pesisir berikut sumber daya hayati pesisir (SDHP) terjadi di hampir seluruh pesisir Indonesia.
Hal ini disebabkan meningkatnya jumlah penduduk, dimana lebih kurang 65% penduduk Indonesia hidup dalam kisaran 50 km dari garis pantai serta memanfaatkan wilayah pesisir sebagai satu-satunya lahan yang tersedia untuk membangun perkotaan, pertanian, industri, serta kegiatan ekonomi lainnya.
Dengan adanya tekanan dan ancaman terhadap lamun, tentunya akan berimbas juga pada kelangsungan hidup makhluk hidup sekitarnya, salah satunya adalah si Cantik Dugong.
Mengenal Lebih Dekat dengan Si Duyung yang MeLamun! #DuyungmeLamun
Dugong merupakan hewan mamalia laut herbivor yang penyebarannya di wilayah Indo-pasifik. Dugong (Dugong dugon), merupakan satu-satunya spesies yang masih eksis di bawah famili Dugongidae dan sering digambarkan sebagai jelmaan putri duyung pada legenda dan cerita rakyat.
Dugong memiliki kemiripan dengan spesies manatee. Dugong digambarkan berbentuk seperti ikan yang tambun dengan bobot sekitar 300-500 kg dan panjang mencapai 3 meter. Memiliki ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-lumba, tanpa mempunyai sirip punggung. Sama seperti kelompok mamalia laut lainnya, dugong juga berkomunikasi dengan menggunakan suara.
Dugong termasuk sangat pemilih dalam urusan makan. Tidak seperti hewan herbivor lainnya yang lebih menyukai tumbuhan yang berserat atau berselulose, dugong lebih memilih jenis tumbuhan lamun yang lembut #DuyungmeLamun dan mudah dicerna tetapi mempunyai nilai gizi tinggi.
Bila dugong mencari makan didasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Adapun perilaku makan dugong secara merangkak dan mencabut seluruh tumbuhan lamun sampai ke akar- akarnya sehingga meninggalkan jejak atau jalur memanjang di dasar laut disebut feeding trail.
Berdasarkan hasil Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun yang diselenggerakan oleh KKP, LIPI, IPB dan WWF Indonesia #DSCP pada tanggal 20-21 April 2016 di Bogor, memperlihatkan bahwa keberadaan dugong di Indonesia mengalamai penurunan dan terancam punah.
Berdasarkan kasus yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia, menurunnya populasi dugong disebabkan ancaman dan pemanfaatan ilegal seperti praktik perburuan, konsumsi daging, pemanfaatan tulang, kulit, taring dan air mata yang seringkali dilakukan secara turun-temurun.
Bahkan air mata dugong dipercaya sebagai bahan obat-obatan dan memiliki unsur magis.
Dugong masuk dalam daftar merah (Red List) IUCN (International Union for The Conservation of Nature) sebagai hewan dilindungi dan terdaftar pada Lampiran I CITES (Convention on the International Trade in Endangered Species of Fauna and Flora) serta dilindungi oleh negara melalui Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Disisi lain, terdapat sebuah keunikan dan tradisi dalam masyarakat di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara yang dikenal sebagai tula-tulana “Wa Ndiu-ndiu”. Berdasarkan pemaparan makalah yang disampaikan oleh Nuraini pada simposium tersebut, Tula-tulana merupakan tradisi lisan dari orang-orang zaman dulu yang di dalamnya berisi nasihat berbentuk legenda ataupun kisah nyata yang kadang dibacakan sambil dilagukan. Menurutnya, dari sekian banyak tula-tulana, yang masih eksis hingga saat ini berjudul “Wa Ndiu-ndiu” yang dalam bahasa setempat bermakna puteri duyung (dugong).
Konon dalam legenda jelmaan putri duyung ini, awalnya merupakan sesosok perempuan (ibu) yang pengasih. Suatu hari ia pergi ke laut untuk mencari ikan yang akan diberikan kepada kedua anaknya, namun dalam pencariannya ia tidak kembali lagi ke daratan dan berubah menjadi seekor dugong. Oleh karena itu, masyarakat Buton mempercayai apabila menyakiti dugong sama saja dengan menyakiti seorang ibu.
Melihat permasalahan yang terjadi maka diperlukan perubahan pola pikir (mind set) masyarakat dalam menumbuh kembangkan kesadaran lingkungan dan konservasi Sumber Daya Hayati Pesisir (SDHP), karena keberlanjutan SDHP berhubungan erat dengan keseimbangan ekosistem.
Lanjut kepada penjelasan Nuraini, hingga sampai saat ini populasi dugong di Kepulauan Buton dapat ditemukan dengan mudah dan sangat minim laporan bahwa hewan pendiam ini terganggu oleh ulah manusia di Kepulauan Buton. Penghormatan masyarakat Buton terhadap hewan mamalia ini dapat menjadi salah satu contoh dari upaya penyadartahuan dalam melindungi populasi dugong dan habitatnya yang berlandaskan kearifan lokal.
Penulis: Sarah Rosemery Megumi.
*Sumber dari artikel ini pernah ditayangkan oleh penulis di Greeners.co:
Video Source: Super Sea Monkey / https://www.youtube.com/watch?v=PiLM0HmzhBM
댓글