top of page
Gambar penulisPandu Laut Nusantara

Maraknya Perburuan Ikan Napoleon di Wakatobi


Ikan napoleon yang masih berukuran kecil. Foto: Riza Salman/Mongabay Indonesia

Nelayan di seputar Kepulauan Wakatobi biasa menangkap ikan napoleon dan memperdagangkannya secara ilegal di Taman Nasional Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Ikan napoleon yang berukuran besar diekspor untuk menyuplai permintaan pasar internasional.


Adapun dari bentuk dan cirinya, ikan napoleon yang sering ditangkap nelayan merupakan ikan napoleon jenis Cheilinus undulatus yang dilindungi undang-undang. Cheilinus undulatus yang memiliki ciri utama berupa bibirnya yang dower merupakan salah satu ikan karang berukuran besar dengan ukuran bisa mencapai 2 meter dengan berat badan 190 kg.


Pada tahun 2004 jenis ikan ini ditetapkan masuk dalam daftar apendiks II CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang perdagangan internasionalnya telah ditetapkan ketentuannya. CITES adalah perjanjian internasional antar negara yang bertujuan untuk melindungi tumbuhan dan satwa liar dari perdagangan internasional.


Pemerintah Indonesia melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 37 tahun 2013 tentang tentang Perlindungan Ikan Napoleon Wrasse (Cheilinus undulatus) menyatakan ikan napoleon berukuran berat antara 100 gram sampai 1 kg/ekor dan ukuran lebih besar dari 3 kg/ekor dinyatakan sebagai ukuran yang dilindungi. Ikan napoleon yang berukuran dan berat di bawah ketentuan 100 gr/ekor dengan berat antara 1 kg –3 kg/ekor tidak termasuk dilindungi, artinya bisa dimanfaatkan.


Selain itu pihak Balai TN Wakatobi mengatakan, “Untuk kepentingan konsumsi atau komersial tidak diperbolehkan,” ujar Kepala Balai TN Wakatobi.


Adapun ikan napoleon beserta ikan lainnya yang telah mencapai bobot tubuh yang standar sesuai dengan permintaan pasar dijual ke bebera kapal berkapasitas bak penampung besar 8-20 ton. Kapal itu berlabuh sekali dua bulan di perairan laut Tomia.


Seorang pengepul ikan mengungkapkan, kapal-kapal itu menempuh rute Bali-Selayar-Bulukumba-Korumba-Kabaena-Wanci-Tomia-Kendari-Wawoni-Palu-Pulau Bungku-Bitung.


“Jika sudah memenuhi target maka langsung diekspor ke Hongkong,” ungkapnya.


Ia menambahkan, kapal-kapal itu menggunakan bendera Indonesia selama melakukan pelayaran di rute tersebut. Ketika hendak bertolak dari Bitung ke Hongkong, kapal itu mengibarkan bendera Indonesia dan bendera Hongkong.


Selain itu, banyak terdapat tempat-tempat penangkaran ilegal ikan napoleon di wilayah sekitaran Wakatobi.


“Banyak yang pelihara ikan begini (napoleon) di sini,” kata Rafi (nama samaran) seorang pria paruh baya, sambil menunjuk ke keramba miliknya.


Ia menambhakan, aktivitas pemuatan ikan ke kapal dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun enggan menyebutkan nama kapal tersebut dan Kementerian apa yang menerbitkan izin kapal.


“Kalau pemuatan ke sana (Bali) setiap dua bulan. Tinggal laporan dari sini kalau sudah tertampung ikan,” ungkapnya. Rafi mengaku sempat empat kali melakukan pengantaran kapal penampung lokal berisi napoleon dan ikan karang lain ke Benoa, Bali.


Ikan napoleon juga kerap dikirim menggunakan jasa pengangkutan laut Pelayaran Nasional (PELNI) KM Jetliner dan kapal jalur tol laut KM Sabuk Nusantara. Kedua kapal PELNI itu melayani rute pelayaran domestik antar Pulau di Sulawesi Tenggara.


Getreda Hehanussa, Kepala Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Laut (BPSPL) Makassar di Sulawesi Selatan, mengaku, hingga kini pihaknya ‘belum mengeluarkan izin’ pengembangbiakan atau pembudidayaan ikan napoleon kepada perusahaan apapun di Sulawesi Tenggara. BPSPL Makassar belum mengeluarkan izin budidaya dan aktivitas pengiriman ikan napoleon dari Sulawesi Tenggara.


Selain itu, Koordinator Pelayanan Masyarakat BKSDA Sultra, Erni, mengatakan jika status perlindungan hewan napoleon bukan menjadi kewenangan dan tanggung jawab BKSDA sejak tahun 2021. Dialihkan sepenuhnya ke Dinas Perikanan dan Kelautan.


Namun jika ada laporan terkait temuan kasus adanya penangkapan napoleon, BKSDA akan memproses laporan tersebut dan memberikan edukasi bahwa tidak ada pemanfaatan ikan napoleon yang dilindungi untuk wilayah Sultra. Dan jika berakibat hukum akan dilimpahkan ke instansi Penegakan Hukum Kementerian dan Lingkungan Hidup (Gakkum KLHK) yang memiliki otoritas untuk melakukan penyidikan kasus perlindungan satwa.


“Bahkan saya pribadi tidak pernah ketemu langsung napoleonnya itu seperti apa bentuknya,” tuturnya.


Sumber: Mongabay.

28 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page