Presiden Republik Indonesia melalui Menteri Sekretaris Negara telah mengeluarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan (16/06/2023). Di dalam Peraturan Presiden (Perpres) tersebut, diatur soal kedudukan, tugas, dan fungsi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Terdapat satu hal yang layak diperbincangkan dari Perpres Nomor 38 Tahun 2023, yaitu penghapusan karantina ikan. Kemudian, sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2019 tentang Karantina Hewan, Ikan, dan Tumbuhan, karantina ikan akan tergabung dalam Badan Karantina Indonesia. Sebelumnya, karantina ikan diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/PERMEN-KP/2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 50/PERMEN-KP/2017 tentang Jenis Komoditas Wajib Periksa Karantina Ikan, Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan.
Hingga kini, Badan Karantina Indonesia yang fokus mengatur soal karantina ikan belum terbentuk. Hal tersebut kemudian memperkuat dugaan soal ikan tidak akan terkarantina dengan baik jika tidak terdapat lembaga atau institusi resmi yang mengurusi serta melindunginya. Oleh karena itu, tidak memasukkan soal karantina ikan secara spesifik dalam Perpres Nomor 38 Tahun 2023 tentang Kementerian Kelautan dan Perikanan merupakan hal yang cukup krusial dan cenderung berbahaya. Apalagi, Indonesia terkenal sebagai negara maritim yang memiliki hasil laut dan ikan melimpah. Maka, kuat dugaan bahwa akan ada beberapa oknum yang sengaja mempermainkan, bahkan mengeksploitasi ikan secara berlebihan lantaran tidak terdapat lembaga atau institusi resmi yang mengatur soal karantina ikan.
Karantina ikan adalah upaya untuk mencegah tersebarnya hama dan penyakit yang terdapat pada ikan. Perlu diketahui, apabila hama dan penyakit pada ikan tersebar, itu dapat membahayakan manusia sebagai konsumen dan lingkungan. Kemudian jenis ikan lain pun akan turut mendapatkan kerugian dari hama dan penyakit tersebut. Upaya pencegahan tersebut tidak hanya dilakukan terhadap pergerakan atau lalu lintas hasil perikanan dari suatu wilayah ke wilayah lain dalam negeri, tapi juga antar negara, baik ekspor maupun impor. Oleh karena itu, mengatur soal regulasi karantina ikan menjadi sangat penting untuk diinisiasi.
Menurut laporan Kementerian Kelautan dan Perikanan, jumlah produksi ikan pada kuartal I-III 2022 mencapai 17,6 juta ton. Pencapaian tersebut baru memenuhi 68,07 persen dari target Kementerian Kelautan dan Perikanan pada 2022, yaitu sebanyak 27,09 ton. Berdasarkan jenis usaha, produksi rumput laut menjadi penyumbang terbesar produksi perikanan di Indonesia, yaitu 6,9 juta ton hingga kuartal III 2022. Hasil tersebut didorong oleh adanya peningkatan produksi di Sulawesi Selatan, Maluku, dan Jawa Timur. Produksi rumput laut yang meningkat dipicu oleh kondisi iklim yang baik serta pembaruan bibit rumput laut hasil kultur jaringan.
Selanjutnya, produksi ikan dari hasil perairan budidaya mencapai 5,57 juta ton. Kemudian, produksi ikan dari hasil tangkap laut mencapai 5,54 juta ton. Sementara, jumlah produksi ikan dari penangkapan di perairan umum daratan mencapai 0,43 juta ton. Peningkatan produksi perikanan tangkap didominasi oleh komoditas cumi-cumi dan ikan tongkol. Sedangkan, kenaikan produksi ikan tawar didominasi oleh lele dan nila.
Hal yang perlu digarisbawahi adalah Indonesia belum mampu memenuhi target yang telah ditetapkan soal produksi ikan. Kemudian, dengan tidak adanya lembaga atau institusi resmi dan peraturan yang mengatur soal karantina ikan secara spesifik, timbul dugaan kuat jumlah produksi ikan di Indonesia akan makin menurun dari jumlah target yang telah ditetapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Hal tersebut, tentu bukan hal yang baik.
Selain itu, di sepanjang 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menangkap delapan kapal ikan negara asing yang melakukan illegal fishing di Indonesia, dua merupakan kapal Malaysia. Modus terbarunya, kapal jenis pump boat dialih fungsikan sebagai kapal lampu atau light boat untuk menarik ikan mendekati cahaya lampu. Padahal, kapal tersebut merupakan kapal penangkapan ikan. Alhasil, saat ikan teperdaya dengan cahaya lampu, kapal lain akan mendekat kemudian melakukan penangkapan ikan.
Oleh karena itu, sekali lagi, tidak adanya lembaga atau institusi resmi serta peraturan yang mengatur soal karantina ikan menimbulkan indikasi-indikasi yang dapat memberikan peluang bagi para oknum untuk melakukan eksploitasi berlebihan terhadap ikan. Maka, sebaiknya, Kementerian Kelautan dan Perikanan menimbang kembali atau paling tidak segera mencarikan solusi baru soal tidak adanya peraturan yang mengatur tentang karantina ikan. Apabila disebutkan bahwa karantina ikan akan diatur dalam Badan Karantina Indonesia, sampai saat ini masyarakat belum dapat menyaksikan badan karantina yang mengatur spesifik soal perikanan berdiri. Selayaknya manusia, ikan pun membutuhkan lingkungan dan situasi hidup yang layak. Ke depannya, semoga pemerintah segera menemukan solusi terbaik soal karantina ikan di Indonesia.
Comments