top of page
Gambar penulisadinda farishaf

Dampak Kebijakan Ekspor Pasir Laut Terhadap Keberlanjutan Pesisir Indonesia


Penambangan Pasir Laut. Foto: Antara News

Pasir dan kerikil adalah bahan mentah yang paling banyak dikonsumsi di dunia setelah air dan udara. Pasir berperan penting dalam industri konstruksi karena sifatnya yang mendukung pembuatan beton dan bahan bangunan lainnya. Begitu pula dengan reklamasi pantai untuk pengembangan pusat industri dan pemukiman. Meskipun vital bagi kehidupan sehari-hari, dampak negatif dari penambangan pasir terhadap lingkungan sering kali diabaikan sehingga eksploitasi terjadi jauh lebih cepat daripada proses pembentukannya yang memakan waktu ribuan tahun secara geologis. Terdapat ketidakseimbangan besar antara besarnya masalah yang ditimbulkan oleh penambangan pasir dan minimnya perhatian yang diberikan terhadap isu ini dalam berbagai agenda politik.


Contoh terbaru dari kebijakan terkait penambangan pasir adalah keputusan Indonesia untuk kembali membuka izin ekspor pasir laut. Baru-baru ini, Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024  dan Permendag Nomor 21 Tahun 2024. Kedua regulasi ini merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 mengenai Pengelolaan Hasil Sedimentasi Laut, yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Mei 2023. Peraturan ini mengatur pemanfaatan pasir laut untuk berbagai keperluan domestik seperti reklamasi dan pembangunan infrastruktur, termasuk izin untuk ekspor pasir laut.


Namun, kebijakan ini menuai banyak kontra, terutama terkait keberlanjutan lingkungan dan dampaknya terhadap masyarakat pesisir. Ibu Susi Pudjiastuti, Ketua Umum Pandu Laut Nusantara sekaligus Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Tahun 2014-2015, menyatakan kekhawatirannya melalui sebuah tweet (X) pada 18 September 2024 lalu "Pasir, sedimen apapun disebutnya sangat penting untuk keberadaan kita. Bila kita mau ambil pasir/ sedimen pakailah untuk meninggikan wilayah Pantura Jawa dll yg sudah parah kena abrasi dan sebagian sudah tenggelam. Kembalikan tanah daratan sawah-sawah rakyat kita di Pantura. BUKAN DIEKSPOR!" tegasnya.


Pendapat Ibu Susi Pudjiastuti Terkait Kebijakan Ekspor Pasir Laut di X pada 18 September 2024

Sebelumnya, Indonesia telah menghentikan ekspor pasir laut melalui Surat Keputusan Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 di era Presiden Megawati. Kebijakan tersebut dibuat bukan saja berdasarkan kekhawatiran terhadap dampak lingkungan yang timbul, tetapi juga karena banyak pihak menilai bahwa ekspor pasir laut lebih banyak menguntungkan negara lain, seperti Singapura. Sementara Indonesia mengalami kerugian akibat rendahnya nilai ekspor dan tingginya kerusakan ekosistem pesisir yang timbul.


PP 26/2023 memang melarang kegiatan pengelolaan hasil sedimentasi di 4 lokasi yaitu: (i) daerah lingkungan kerja, daerah lingkungan kepentingan pelabuhan, dan terminal khusus; (ii) wilayah izin usaha pertambangan; (iii) alur pelayaran; dan (iv) zona inti kawasan konservasi kecuali untuk kepentingan pengelolaan kawasan konservasi. Namun, yang menjadi perhatian adalah tidak adanya larangan eksplisit terkait penambangan di pulau-pulau kecil, yang justru sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan akibat penambangan pasir. Bahkan pada tingkat yang paling ekstrim, penambangan pasir dapat menyebabkan tenggelamnya sebuah pulau, terutama dengan adanya dampak tekanan dari perubahan iklim. 


 

Dampak Ekologis Tambang Pasir Laut


Pasir laut berperan penting dalam menyusun lantai laut dangkal atau continental shelf dengan kedalaman 0-200 meter. Area ini disebut sebagai zona eufotik, tempat konsentrasi perikanan komersial dan berbagai biota laut lainnya. Zona eufotik menjadi rumah bagi ribuan spesies, mulai dari mangrove, padang lamun, terumbu karang, hingga ikan dan penyu. Zona ini menerima sinar matahari secara penuh, ia menjadi pusat dari siklus karbon, nitrogen, dan oksigen melalui aktivitas plankton. 


Penambangan atau pengerukan pasir laut dapat meningkatkan kekeruhan air pada zona eufotik, yang terjadi ketika partikel sedimen terangkat dan bercampur dengan air laut. Pengeruhan air laut berdampak negatif pada terumbu karang yang berperan sebagai habitat penting bagi berbagai organisme laut untuk pemijahan, peneluran, pembesaran anak, serta mencari makan bagi sejumlah besar organisme laut, terutama yang memiliki nilai ekonomis penting. Jika terumbu karang tercemar, maka akan terjadi penurunan jumlah fauna laut atau pergeseran komposisi spesies.



 


Pengerukan pasir laut tidak hanya berdampak pada pengambilan material berharga dari dasar laut, tetapi juga berisiko merubah struktur dasar laut, yang dapat mempengaruhi pola arus laut dan memperbesar gelombang. Ketika dasar laut mengalami perubahan akibat pengerukan, pola aliran air yang sebelumnya stabil dapat terganggu, menyebabkan arus laut menjadi lebih kuat dan gelombang yang dihasilkan lebih besar. Hal ini meningkatkan risiko abrasi pada garis pantai, karena gelombang yang lebih besar memiliki daya pengikisan yang lebih kuat terhadap pantai. Abrasi tidak hanya merusak ekosistem pantai, tetapi juga mengancam infrastruktur dan pemukiman yang berada di dekat garis pantai.


Sebagai contoh nyata, penelitian yang dilakukan oleh Universitas Halu Oleo menunjukkan bahwa abrasi akibat penambangan pasir laut telah mengakibatkan hilangnya 80-100 meter daratan. Aktivitas penambangan ini tidak hanya menyebabkan perubahan drastis pada garis pantai, tetapi juga menghancurkan vegetasi dan merusak tanggul di sekitar pantai. Masyarakat setempat khawatir bahwa abrasi yang berkelanjutan akan menyebabkan air laut naik dan membanjiri pemukiman mereka, memperparah risiko yang dihadapi oleh komunitas pesisir.



Penambangan pasir yang dilakukan secara masif dapat mengancam keberadaan pulau-pulau kecil di Indonesia. Perubahan struktur pesisir akibat penambangan pasir yang menurunkan garis pantai sehingga pulau-pulau kecil akan tenggelam. Tercatat Indonesia telah kehilangan 25 pulau kecil akibat dari pengerukan pasir laut. Pulau-pulau yang hilang ini mungkin tidak berpenghuni, namun mereka memiliki peran penting sebagai pelindung alami bagi pulau-pulau besar yang dihuni, melindungi dari angin kencang dan erosi. Tanpa adanya pulau-pulau kecil ini, risiko kerusakan ekosistem dan daratan di pulau-pulau besar semakin meningkat.


Hilangnya pulau-pulau kecil juga memperparah kerusakan ekosistem laut. Ketika sebuah pulau menghilang, keanekaragaman hayati laut ikut terancam, termasuk spesies ikan yang menjadi sumber penghidupan bagi nelayan lokal. Hilangnya pulau juga mempengaruhi keberadaan terumbu karang penghalang yang melindungi pesisir dari abrasi dan badai. Dengan kembali dibukanya keran ekspor pasir, ancaman terhadap 83 pulau kecil di perbatasan yang sudah menghadapi risiko menyusut, terancam ikut menghilang juga.



Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil telah lama dianggap sebagai daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pemanasan global yang terus terjadi menyebabkan kenaikan permukaan laut, cuaca ekstrem, serta bencana alam yang lebih sering terjadi. Laporan IPCC Climate Change 2023 menunjukkan bahwa sekitar 3,3 hingga 3,6 miliar orang hidup di wilayah yang sangat rawan terhadap perubahan iklim, dengan masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil dan daerah pesisir menjadi kelompok yang paling terdampak.


Dampak pemanasan global ini semakin diperburuk dengan adanya praktik penambangan pasir laut, terutama ketika pasir yang berfungsi sebagai penghalang alami dari ombak dan arus laut dikeruk secara besar-besaran. Aktivitas penambangan pasir laut yang tak terkendali membuat garis pantai semakin rentan terhadap abrasi, sehingga menghilangkan perlindungan alami dari pantai terhadap kenaikan air laut. Akibatnya, pulau-pulau kecil di Indonesia yang berperan penting dalam melindungi pulau besar dari erosi dan angin kencang, berisiko mengalami kerusakan yang lebih parah​.


Selain itu, kegiatan ekspor pasir laut juga berkontribusi terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca. Transportasi jarak jauh yang digunakan untuk mengirim pasir laut ke negara-negara pengimpor, seperti Singapura, menghasilkan emisi karbon yang signifikan. Begitu pula dengan produksi semen, yang merupakan salah satu pengguna terbesar pasir laut, dapat meningkatkan jejak karbon global karena proses produksinya yang intensif energi dan berdampak besar pada lingkungan.


Foto: Kompas/Pandu Wiyoga

 

Dampak Sosial dan Ekonomi Kebijakan Ekspor Pasir Terhadap Masyarakat Pesisir Indonesia



Seratusan nelayan dari Pulau Kodingareng Makassar menggunakan perahu tradisional ketinting atau cadik melakukan pengadangan kapal Queen of the Netherlands milik PT Royal Boskalis. Foto: Walhi Sulsel

Penambangan dan ekspor sumber daya alam non migas (mineral), termasuk pasir laut, sering kali menimbulkan ketidakadilan sosial dan konflik di masyarakat lokal. Kegiatan ekspor pasir laut mungkin memberikan peningkatan pendapatan bagi negara, terutama melalui Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), tetapi manfaat ekonomi ini tidak merata dan sebagian besar hanya dinikmati oleh pelaku usaha besar dan pemerintah pusat saja. Sementara itu, masyarakat daerah yang tinggal di sekitar lokasi penambangan pasir laut sering kali tidak mendapatkan bagian yang adil dari keuntungan tersebut.


Dalam PP 26/2023 tidak diatur distribusi pendapatan daerah atau masyarakat lokal yang rentan mengalami dampak sosial karena kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi. Padahal, merekalah yang paling rentan terkena dampak sosial dan lingkungan akibat kerusakan alam yang ditimbulkan oleh penambangan pasir. Ketidakadilan ini berpotensi memicu konflik sosial di tingkat lokal, di mana masyarakat merasa hak mereka diabaikan, sementara keuntungan ekonomi hanya dinikmati oleh pihak-pihak yang tidak terdampak langsung oleh kerusakan lingkungan.


Konflik ini tidak hanya merusak hubungan antara masyarakat dengan pemerintah pusat dan pelaku usaha, tetapi juga menghambat upaya-upaya untuk mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.



Indonesia memiliki 12.827 desa pesisir yang dihuni oleh lebih dari 8,1 juta rumah tangga pesisir, sebagian besar diantaranya bergantung pada sektor perikanan. Aktivitas penambangan pasir dapat memberikan tekanan besar bagi ekosistem laut dan masyarakat pesisir, terutama nelayan yang menggantungkan hidupnya pada laut. Ketika penambangan pasir dilakukan di zona tangkap ikan, nelayan terpaksa untuk melaut lebih jauh guna mendapatkan hasil tangkapan yang lebih layak. Hal ini secara otomatis meningkatkan biaya operasional, seperti bahan bakar, perawatan kapal, dan waktu yang dihabiskan di laut. Tidak hanya itu, hutang nelayan semakin menumpuk karena biaya operasional yang melonjak, sementara pendapatan dari hasil tangkapan terus menurun.


Nelayan di Indonesia sudah berada di lapisan sosial paling miskin, dan penambangan pasir laut memperburuk situasi mereka. Menurut laporan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, jumlah nelayan yang hidup dalam kemiskinan berkisar antara 20 hingga 48 persen. Pada tahun 2019, data menunjukkan bahwa jumlah nelayan yang belum memiliki kestabilan ekonomi mencapai 14,58 juta jiwa, atau sekitar 90 persen dari total 16,2 juta nelayan di Indonesia. Data ini menunjukkan betapa rapuhnya kondisi ekonomi nelayan, bahkan sebelum dampak eksploitasi pasir laut ikut menambah beban mereka.


Dampak sosial ini terlihat jelas di Pulau Kodingareng, di mana lebih dari 250 nelayan harus meninggalkan profesi mereka sebagai nelayan dan beralih menjadi pemecah batu atau pemulung akibat menurunnya hasil tangkapan ikan. Pendapatan mereka turun hingga 80%, yang berdampak langsung pada kemampuan mereka untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan kesehatan. Penurunan pendapatan ini juga menciptakan ketidakpastian ekonomi yang terus meningkat, sehingga mengganggu kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Kualitas hidup nelayan yang sebelumnya sudah rentan menjadi semakin buruk, karena mereka harus menghadapi tantangan ekonomi yang semakin besar tanpa ada jaminan atau perlindungan.


Hal ini melanggar hak rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi UUD 1945 pasal 28H ayat 1 yang berbunyi “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Hal ini juga bertentangan dengan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.


Kerusakan Infrastruktur Lokal

Akses Jalan Rusak Parah Terkena Abrasi (Sumber gambar: TV One News/Sentosa Suparman)

Abrasi yang diakibatkan oleh pengerukan pasir secara besar-besaran membuat garis pantai semakin tergerus. Hal ini dapat merusak infrastruktur penting seperti jalan pesisir, dermaga, tanggul, dan bangunan umum lainnya. Infrastruktur memainkan peran penting dalam mendukung aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat pesisir, termasuk akses terhadap transportasi, distribusi barang, serta kegiatan perikanan.


Salah satu contoh nyata terjadi di wilayah pesisir Pulau Kodingareng di Sulawesi Selatan, di mana tanggul-tanggul yang dibangun untuk melindungi pemukiman dan fasilitas umum dari air laut hancur akibat abrasi yang disebabkan oleh penambangan pasir laut. Selain itu, jalan-jalan pesisir yang rusak akibat erosi menghambat mobilitas masyarakat, membuat akses terhadap layanan penting seperti kesehatan dan pendidikan menjadi sulit. Kondisi ini tidak hanya membahayakan keselamatan warga, tetapi juga meningkatkan biaya perbaikan yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah dan masyarakat.


Kerusakan infrastruktur ini memperburuk kondisi sosial-ekonomi masyarakat pesisir yang sudah rentan akibat penurunan hasil tangkapan ikan dan berkurangnya pendapatan. Kehilangan akses terhadap infrastruktur yang vital tidak hanya mempersulit kehidupan sehari-hari, tetapi juga memperlemah ketahanan masyarakat dalam menghadapi bencana alam seperti badai atau kenaikan air laut yang semakin sering terjadi sebagai akibat perubahan iklim. Ketika infrastruktur lokal rusak, masyarakat menjadi semakin terpencil dan tidak berdaya menghadapi ancaman dari laut yang semakin agresif akibat abrasi dan erosi.*




116 tampilan0 komentar

Comments


bottom of page