Bintang laut mahkota berduri menjadi ancaman bagi terumbu karang. Keberadaan biota laut ini menyebabkan gangguan dan kematian, tak lain merupakan hama bagi terumbu karang. Sejumlah nelayan pesisir Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah, sering mengeluh terkait kerusakan terumbu karang di sekitar perairan mereka.
Tentunya hal ini juga berpengaruh kepada ikan, karena terumbu karang merupakan rumah bagi ikan-ikan, jika terumbu karang kian rusak dan mati, maka ikan-ikan akan berpindah mencari habitat lain, tangkapan nelayan pun menjadi berkurang, bahkan mengancam ekonomi nelayan yang menggantungkan nasibnya dari hasil tangkapan.
Di samping itu, biota laut Acanthaster planci atau dikenal juga dengan nama Crown of thorn starfish (COTS) ini disebut mahkota berduri karena duri yang menutupi tubuh bagian atasnya.
Derwan Karaba, Kepala Desa Kadoda, Kecamatan Talatako, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah mengatakan, meski sudah dilakukan pembersihan di perairan laut di desa mereka, namun masih banyak ditemukan biota tersebut.
“Beberapa kali dilakukan pembersihan bekerja sama dengan pihak Balai Taman Nasional Kepulauan Togean, pihak resort, serta wisatawan asing. Kalau saya perhatikan, jumlah bintang laut berduri ini masih banyak,” kata Derwan.
Adapun pada tahun 2019, sekitar 8.000 ekor bintang laut mahkota berduri berukuran diameter 8-48 cm, diangkat dari perairan Taman Nasional Kepulauan Togean.
Derwan menambahkan, selain pembersihan secara bersama, dengan melibatkan banyak pihak, nelayan juga saat mencari ikan dan ketika melihat ada bintang laut berduri, biasanya akan langsung menangkap dan membersihkannya dari terumbu karang. Mereka menyadari, hewan tersebut hanya menciptakan masalah.
Bukan hanya menjadi ancaman bagi terumbu karang, bintang laut mahkota berduri juga berbahaya bagi manusia, karena jika terinjak, dapat menyebabkan sakit yang disertai pembengkakan selama berjam-jam hingga berhari-hari.
Sementara itu, terdapat beberapa nelayan yang masih belum paham tentang penanganan biota ini, karena setelah mereka membunuh bintang laut berduri kemudian dibiarkan begitu saja di laut.
Hal itu bukanlah sepenuhnya membunuh hewan tersebut, justru berpotensi memperparah keadaan, karena kemampuan hewan laut ini dapat hidup kembali, bahkan bertambah banyak.
“Padahal, bintang laut berduri yang dimusnahkan itu akan mengeluarkan larva dan bisa hidup kembali serta bertambah banyak.”
Hewan ini memiliki kemampuan dapat menumbuhkan kembali bagian tubuhnya yang terputus, meski dipotong menjadi dua sisi sekalipun.
Adapun pada pertengahan 2021, Naturevolution Indonesia (NEI) bekerja sama dengan Toli-Toli Giant Clam Conservation (TGCC) dan Lembaga Penelitian Prancis, Institute of Research for Development (IRD) yang dipimpin penelitinya Pascal Dumas, merintis program kerja sama dalam bidang konservasi wilayah laut di Sulawesi Tenggara. Terutama, dalam hal penanganan bintang laut mahkota berduri.
Berdasarkan penelitian yang dipublikasikan Naturevolution, spesies ini memiliki banyak lengan (16 sampai 18). Bagian atasnya, terdapat duri panjang dilapisi steroid sangat beracun, sehingga dapat menimbulkan sengat yang begitu menyakitkan.
“Kematian terumbu karang dapat mencapai atau lebih dari 90% dari satu ekosistem terumbu karang. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya restrukturisasi mendalam dari ekosistem dan fungsi terumbu karang itu sendiri,” tulis para peneliti Naturevolution.
Para peneliti tersebut menemukan cara yang ramah lingkungan untuk mengendalikan biota laut, yaitu dengan menggunakan injeksi zat asam alami (jeruk nipis, markisa, cuka putih dan sejumlah asam bubuk lainnya).
Adapun zat-zat tersebut dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi, bahkan dengan dosis rendah dengan kematian 100% dalam kurun waktu 12-24 jam.
Metode ini, telah diuji oleh Institute of Research for Development [IRD] sejak 2014, di Vanuatu dan New Caledonia. Selain itu, metode ini terbukti efisien di lapangan dengan pemberantasan bintang laut mahkota berduri yang lebih dari 1 ton dalam kurun waktu 2 hari.
Sumber: Mongabay.
Comentarios